Jumat, 14 November 2008

Temaram, hampir gelap.

Bermula dari sikap ketidakpedulian, dan kini mungkin sedang dirambah penyesalan. Kosa kata yang menerjunkan sebuah altar sikap menuju akhir penantian sepertinya. Entah sebagai indikasi dari topik apa, jika aku bisa berasumsi inilah sebuah akhir 'penantian'.

Without considering, i'm on the diseases warzone. Yesterday is an another way to live, but today i'm really seperate in this way;

Ketika senja berganti malam, setelah kejadian berlalu, tak pernah menginginkan terulang-- dan, keinginan yang tak menjadi keajaiban, melainkan sebuah kejadian lalu kian terulang. Sempat berfikir ini hanyalah sebuah proses awal dari penantian, tak henti kian terfikir inilah awal 'kematian!'; Inginnya hanya berfikir positif, tetapi pada akhirnya bertransform menjadi negatif.

Sebuah indikasi yang meradang ujung tenggorokan, hingga harus keluar paksakan darah setiap harinya-- Lelah, itulah rasanya. Kalut, seperti biasanya, hingar-bingar jika harus melihat keramaian. Tiada lagi hitam dan putih berbagi, segalanya paradoks, dan bertransform abu-abu.

Kesunyian, kesendirian, adalah sintesis kehidupan selamanya. Dan harus kuakui tanpa dipungkuri, itulah keahlianku.
Harapan, kebahagiaan? Sepertinya tak ada lagi kata-kata itu dalam kosa kataku.

Ini hanyalah holofrasis yang berhipotesis dengan sikap hirau akan kehingar-bingaran anugrah yang tak selayaknya tercipta di sela kehidupan manusia-- Dan, jika boleh pinta; Jika aku ini terlahir dengan keadaan tak bermata, mungkin akan dengan mudahnya lintangi aral gendala soalan hidup, dan deru-deru derita yang mengharukan.

Ketidaksanggupan menghadapi; mengakhiri kenyataan berupa penantian.

If you wish to forget anything on the spot, make a note that this thing is to be remembered.
Edgar Allan Poe

What's the point, if i had no choice?

What's the point, if i had no desire?
What's the point, if i had no more happiness?
and What's the point, if i had no longer time?
Disease causes? is a deal of joy and pain, and wonder.
--Not the end, not redemption, but just begun;

Dikala senja tiba, sambil diguyuri hujan lebat; hingga tak terasa air mata mulai menggenangi antara kedua mata yang tak tentu arah pandangannya. Rasa bersalah hebat gandrungi taubat, setelah beberapa jam kutemani kawanku yang sedang menunggu kawannya, dibawah derai hujan yang mengguyur, deruan angin tak karuan; sesak paru mulai resah tak kuat menahan laju darah ini, berlari mencari ruang kosong tanpa mulai memperhatikan keadaan sebenarnya.
Tak hirau akan gumpalan darah ini, meski dahulu terlalu menyembunyikan hingga tak ada satupun yang mengetahuinya, dan inilah saatnya, bukanlah untuk penebusan dosa selamanya, hanya sementara, bukan taruhan untuk surga, bahkan neraka sekalipun. bukan, bukan keduanya, lalu apa?; hingar bingar menggerutu pembicaraan sendiri.

Sudah dekatkah? seraya berasumsi sambil menoleh kebelakang menghadap akuarium kosong yang berisi udara.

...... tak ada jawaban--duniaku masih sesunyi ini, tak dahulu, tak hari ini, mungkin esok pun seperti ini.

Hirau tak terhingga, dan nazar ini mungkin berharga bagiku untuk kesalahan tak berujung. Hingga diujung umurku adalah mempersilahkan ragaku untuk melepaskan segala isi-isinya, dan bukan lagi kehampaan yang melekat erat yang selama ini ikut serta mengisi kekosongan jiwaku ini--Tanpa berat hati, sederetan prosa ini mewakili ucap maaf atas keresahan, kehingar bingaran yang telah kuperbuat.
Dan, semoga tulisan-tulisan yang selama ini kutuliskan, tak lagi menjadi makna yang terus mencari arti, bahkan kenyataan yang terulang--dan ketidaksanggupan hidup mulai menjadi kebiasaan dengan menyegerakan diri untuk singgah menjauhi kenyataan, dan tak lagi mengenali lagi ranah kehidupan.

What is once well done is done forever.
Henry David Thoreau
I feel like a tiny bird with a big song!
Jerry Van Amerongen, Ballard Street, 08-18-05

Derana derukan perih hati.

Transenden harapan, adalah kehampaan.
Ketiadaan, kenestapaan, hingga tak ada lagi sosok sekepal harapan kujumpai.
Masa transisi, adalah nan indah rupawan. Melintang panjang kasatkan mata.
Sentuh cakrawala, dan tak ada lagi rupawan seperti kebahagiaan dan ketenangan.

Hingar bingar, keresahan yang bergejolak menolak untuk bertahan lebih lama lagi, hidup statis, lebih statis lagi, tak ada titik nadir terendah yang bisa kusinggahi.
Tak ada dinamisme hidup. Mati rasa, tak menggerakan nyawa untuk tetap hangat.

Putih bertransfor hitam, kamuflase-kan substansi menjadi substansi rekayasa serupa keputusasaan.
Derana memulai derukan perih hati, iri hati dan bicarakan tentang dekadensi diri. Dan bukanlah sebagai maton yang mantuk, melainkan maton yang sudah mansukh.

Kehampaan..
Anugrah terindah yang telah tertunda.

Harapan..
Tak lagi sebagai motoris dalam dinamisme kehidupan.

Keputusasaan..
Sebagai phobia akut yang tak pernah bosan menghantui menemani kekosongan diri.

Dan,

Kebahagiaan..
Keresahan yang tak pernah memliki tepi.

Jika, Tuhan ciptakan mati dan hidup,
Jika, Tuhan ciptakan Surga dan Neraka,
Dan, jika Tuhan Mahaperkasa,

Dengan alasan apa Ia menunda, dan tak sanggup menjemputku menuju semesta tak nyata,
dengan ucap 'Terjadilah!'

Pertanyakan Surga dan Neraka,
Jawabku adalah bernazar untuk terlepas dari buaian konteks kehidupan diluar kesanggupan.


Kehidupan?
Harapan kosong, Keabnormalan, Keterasingan & Keraguan.

Maka, Kematian adalah,
Ketenangan, Kesunyian, Kemuliaan, & Keabadian kudapat.

diantara nazar Tuhan, keputusasaan & ketiadaan.

Serupa nazar Tuhan, jika harus meninggikan-Nya adalah keselamatan membentang luas tak bertepi. Serupa nazar yang membuahkan keputusasaan berlebih yang tak henti menari menertawai diatas janji-janji yang tak terpenuhi.

Jika harus terus mengeluh merupakan indikasi kebiasaan, maka keputusasaan mulai merambah arti kebahagiaan, tanpa pengecualian.
Mati? Hidup? Adalah sintesis kehampaan, mengingat dosa-dosa yang telah diperbuat adalah kenestapaan. Meraih pahala melalui ibadah adalah kamuflase kehidupan! Yang secara singkron butakan indera-indera penglihatan tanpa harus terus mendambakan kehidupan dalam ranah semesta tak nyata, Arasy, Padang Mah'syar, Akhirat..

Dan kebahagiaan tertunda hingga terus tertunda tanpa merasakan bahagiaanya jikalau bisa merasakan kebahagiaan masa hidup diantara
siang, malam, sore, dan subuh hari.. Hingga sinar matahari mulai berpaling untuk menerangi, gelap gulita malam tanpa ada lagi Khusuf yang indah, senja hari tanpa adanya lagi tanda-tanda terbenamnya matahari dikala indahnya, deru-deru angin menari temani derai-derai hujan yang dingin, dan hangat..

Hingga semesta timbulkan kesan mimik suasana naik pitam, menahan amarah terhadap orang-orang hina sekalipun terhina, dengan indikasi yang sederhana adalah diriku pribadi saja. Enggan peduli hingga sedetik pun, ketika mereka mencerca, mengutuk, bahkan menertawai.

Ia, yang memiliki segalanya, dan kuakui akulah kekurangan sepenuhnya. Hidup pun sederhana, kebahagiaan tak ada, kasih sayang yang tak pernah kunjung datang.

..I don't really give a thought to feel this cursed, just tryin' to create another poem for having some comfortable, without.. God helps..

Life? Death? Is an another reason who can make it i'm on over-Desperately.

Senin, 27 Oktober 2008

Elegi lulabi terindah.

Suddenly sad, guitar is help. Sometimes i drown, but poem heal my wound, not too much, but enough.
And when i'm already wrote, imagination is high, ain't no question to ask, i've high excited, high excited to be a death young really soon.

Love, life? what the hell both of words!
I had no fantasizes, desire to responsbility it, to much question, mystery to chose an option.
Joy, wrote, work, and daydreamin' is an my life way, i guess.

Sengkarut kalimat 'putus asa' seperti itulah yang menjadi sebuah ekstase pembiasaan emosi diri, kadang menghantui, kadang jua menjadi misteri, dan terkadang tak terkontrol saat menjadi.
Ketika mempertanyakan eksistensi dan identitas adalah sebuah puisi yang tak pernah memiliki makna dan arti. Ketika individu adalah subyek otonom yang terus berlari mencari konteks kehidupan dalam ranah lingkungan yang begitu kritis. Dan ketika ekualitas adalah persamaan, maka mempertanyakan farak adalah ketidaketisan.
Dan, ketika ekualitas dijadikan sebagai pagar kebiasaan orang-orang dengan logat fakir falsafah adalah hal yang biasa saja terjadi disini, dan coba tentang cara menghargai.


Dan jika harus mempertanyakan dunia berdasarkan faktual nyata adalah kenestapaan yang tak berujung. Dan, kematian tanpa beban adalah sebuah Euforian dengan elegi lulabi terindah!


Ranah lingkungan sekitarku sudah mulai terlihat abu-abu, tak ingin terbebani, bahkan tak ingin jua membebani siapapun. Tersenyum sambil sembunyikan substansi diri, seolah serasi tetapi perih hati. Serba salah!
Baiknya adalah diam, tanpa sepatah kata yang pantas dilontarkan.
Lalu mulai menjauhi segala konteks sosial yang kian merajak. Dan, awali dengan ucap 'Proses pembelajaran hidup tanpa hasil yang menyemangati hati'.

Diawali dengan phobia sosial akut yang mulai mengakar dan mengganggu, mulai merambah imaji yang tak pernah henti berasumsi 'Aku ini skizofrenik? Sebuah delusi? Atau apalah, mungkin Terasingi tepatnya'

Pertanyaan tersulit yang pernah singgahi hidup, tak adanya solusi membuatku tak percaya diri, pasang dan padam, sehingga mudah perih hati. Terkadang merasa aku ini adalah kekurangan sepenuhnya diantara manusia-manusia lainnya..

Dan tahta tertinggi adalah memiliki harta berlimpah yang merupakan hal semestinya, kekurangan adalah kehinaan sepenuhnya..

Kekurangan adalah ketakutan, dan tahta tertinggi adalah ketiadaan.

Lupakan kewajiban dengan kebiasaan sifat angkuh yang kian meradang.

Dan aku, tiada antara keduanya. Tak kekurangan, bahkan sebaliknya. Melainkan Kehampaan tak bernyawa antaranya..


Kasih sayang terhadap hawa yang kuingin? Tak kunjung memperlihatkan ketertarikan terhadap pribadiku!

Putus asa, serba salah, tak kunjung memiliki sesuatu adalah ranah kehidupan yang seterusnya menikam tajam hantui diriku. Hingga titik nadir pun bernazar untuk berpaling dan tak ada lagi titik terendah yang bisa kusinggahi dan bisa dijadikan sebuah pilihan.

Dan, keabsahan barisan tropus siap untuk terus mengantui pertanyakan jawaban.
Jikalau perlu hingga mereka angkat tangan dengan ucap abstain, karena keabnormal-an mereka dirambah semua pertanyaan! Dan mereka yang merasa sebagai Transenden kehidupan adalah tendensi dari Euforian sang pemimpi yang impiankan kejatuhan dirinya sendiri suatu saat nanti.

Kematian berkuasa disini, kematian adalah berharga bagiku, pada saat akhir waktu, hingga dunia tak mewujud nyata lagi, Surga dipenuhi khalayak yang terpenuhi rohani dan batinnya semasa hidup..

Dan aku, tetaplah Kehampaan, bukan kebahagiaan. Serasah tanpa sarinya, yang terus menari gerakan jemarinya diatas secarik kertas.



(soemantri'08)


Sabtu, 18 Oktober 2008

Wujud tak kukenali hingga kini.


Ketika kanan dan kiri, hitam dan putih adalah pilihan. Dan, ketika hitam dan putih menjadi abu-abu, kanan dan kiri telah menjadi serasah. Maka saat itu pun ku coba untuk berangkat dari tradisi yang sudah terdengar begitu fundamental itu. Sederhananya adalah sejarah. Yang tak akan pernah menjadi serasah akan teori-teori para sejarah yang tak akan berhenti berimajinasi diatas kertas yang coba untuk terus bercerita tentang kenestapaan dari hari ke hari, maupun yang sedang terjadi pada hari ini. Menuju sebuah momentum dimana kita akan berdiri tanpa guncangan aral bencana.

Pada hari dimana kita dibangkitkan menuju hari penghabisan, seperti orang dungu, mungkin akan sepi disana, tidak ada yang kukenali jua mungkin. Namun setumpuk kebahagiaan akan mungkin menjadi sebuah pilihan yang menjanjikan.

Sedikit melenceng pada eksposisi. Dan, sudah cukup sepertinya untuk basa-basi.

Dimulai pada hari dimana pena itu terus membujuk untuk diajari menari lagi diatas secarik kertas ini.

Dimana ketika seorang diri berdiri sendiri diatas bukit yang tak begitu tinggi disana. Dengan pijar-pijar matahari senja mulai terbenam. Dengan deru kencang angin berhembus, yang membuat ilalang-ilalang itu terharak-harak dengan serentak seolah mengikuti iramanya. Memikat hati ribuan kunang-kunang siap terbang yang saat ini mulai memijarkan cahaya mengagumkan disaat malam hari tiba, dan malam ini terkesan sebagai malam yang Mansukh.

Sambil kurentangkan tangan dengan sejajar membentang, seolah ingin terbang. Dengan harap, ingin mengunjungi sebuah tempat dimana seorang Ibu yang dahulu mengajariku dan saat ini telah menetap pada alam semesta tak nyata, semesta takhta Tuhan tertinggi yang tak mudah untuk kukunjungi. Melainkan dengan seharusnya melintangi 2 jalan tersulit, ah mungkin 3 jalan, dan entahlah, terlalu misteri untuk diprediksi. Akhirat, kiamat, neraka, surga, dan lain sebagainya.

Seperti mengingatkanku akan momen tertentu yang sudah berlalu, Ia raih jasad dan ruh-nya, ketika saat aku ini beranjak dewasa dan membutuhkan bimbingan seorang Hawa yang telah berusaha dan berjuang untuk menghadirkanku ke dunia, dan saat ini aku merangkak sendiri sambil mencari identitas diri, sesunyi ini kudapati? Berlalu dan berakhir ketiadaan, 6 tahun berlalu sudah, tak terasa begitu lama Ia pergi. Dan, memang sebenarnya harus kusadari, ini adalah rahasia sosok sang pencipta yang tak pernah kukenali, bahkan jua dapat kulihat begitu saja dengan kasat mata, siapa Ia sebenarnya? Aku tak pernah tau jua akan wujud sebenarnya, dan sepertinya, tak pernah ingin tau jua, biarlah berlalu, dan katakan laissez passer..

Senin, 13 Oktober 2008

Euforian Paranoia: Dan, bukanlah Paranoia Alkus.


Bahagia-nya mereka, kerapkali tak kunjung jua menghampiri. Bersikap tak tau apa-apa, seolah lupa akan kehadiran sesosok orang yang menanti. Hingga Sakaratulmaut pun tiba, tak menoleh pun ia. Tak ada rasa iba, acuh gerogoti pandangan jiwa. Tutup sebelah mata, gelagat hunusan Skeptis coba bunuh arteri yang kian melemah.

Aral gendala tiba tekankan untuk terjatuh, hingar bingar tak karuan, yang memaksa mencari lingkungan sebagai alasan Eskapis diri, namun tak kunjung jua kutemui.

Hingga dini menyadari, begitu indahnya Marcapada ini. Dan tak jua jika seorang diri menikmati, hanyalah hampa sesaki harapan. Tak sedetik pun pejamkan kelopak mata, merangsang syaraf untuk berimaji terlalu berlebihan. Aku ini seperti bicara seorang diri, bergumam sendiri tak peduli memaksa untuk diam. Tanpa menoleh sedetik pun memperhatikan keadaan. Dan baiknya adalah diam.

Mereka terus bertanya hal yang sama, tak sanggup menahan dan terlalu memekakkan telinga. Kerapkali pertanyaan itu menghantui, mendominasi sifat personal yang ciptakan paradoks berbekalkan dugaan tanpa kebenaran, melainkan pembenaran dengan dalih menggiurkan.

Coba tentang satu persatu keadan realita hanya dengan berbekalkan dugaan-dugaan yang ternyata merugikan. Merasa bosan sebenarnya, dengar cercaan dengan dalih memilukan. Seorang diri berjuang untuk terus mempertahankan eksistensi diri dengan persepsi, persahabatan hanyalah bualan menjijikan. Dan persahabatan hanyalah cara dimana menyesuaikan sifat personal tak asli dalam ruang lingkungan yang sebenarnya saling bertentangan. Dan, pada akhirnya tak seorang pun dapat saling menghargai tanpa menyadari akan kekurangan.

Maka ini adalah barisan esensi yang selalu kutemui, dan bukanlah Paranoia Alkus khalayak lontarkan sebagai sintesis persepsi sebagai alasan. Dan, ucapan maaf wakilkan satir berupa tulisan dengan persepsi, esensi persahabatan dan persatuan adalah cara menjatuhkan diri diluar lingkungan.


"Many people love my work, some hate it, but I've never stopped to think about it, and I'll go on without giving a thought - what really matters to me is to know that I can share my soul with those who understand me." (Paulo Coelho)

Jumat, 26 September 2008

Kepergiannya, Berlin..



Kalut, itulah persepsi perasaanku hari ini. Tergeletak lemas sambil mengingat sosok seorang Hawa yang kuingin. Tersenyum pun tak ingin. Kawanku pandai berkelakar berusaha menghibur, terkesan biasa. Dalam fikiran hanya terngiang dengan keadaan yang berdampak dramatis yang dahulu itu pernah menghimpitku hingga sesak dan terjatuh pada jurang derita yang terus menggerogoti dinding syaraf otak yang terus menolak untuk melupakan. Sebuah proses terjangkitnya Delirium yang kian menggelora, sehingga aku ini lupa berdiri lagi. Terpaku pada satu titik permasalahan yang bukan menjadi substansi diri sendiri, seolah itu adalah sebuah katarsis dengan dampak ingin menyendiri.

Lalu, derai gerimis itu pun mulai terdengar berjatuhan dari langit yang mulai menjadi kelam. Mata pun terkelap merasakan kantuk karena deruu kencang angin yang berhembus. Meski sebelumnya sudah kuteguk beberapa gelas kopi hitam dengan keinnginan hari ini aku bias menulis kiasan-kiasan mustahil tanpa rasa kantuk. Namun hembusan angin itu mengalahkanku sesaat, lalu terbangun lagi, lalu kutulis lagi, dan, ntahlah..
Jarum jam berputar begitu cepat, tak terasa matahari mulai terbit tersenyum menyinari semangatku lagi. Meski tak seperti semangat yang terdahulu kurasakan, dan setidaknya ini adalah sebuah pencerahan hanya untuk sementara waktu, sehinngga pandanganku yang kelam ini menghadirkan sebuah celah penerangan sesekali untuk merubah keegoisan diri. Awalnya adalah tak inngin menyerah hingga kudapat sesuatu yang bukan miliku lagi. Tapi realita-lah yang berencana membuatku undur diri dari peperangan ini. Tetapi, kenapa tak selintas keinginan dalam diri ini untuk mengibarkan bendera Putih? Melainkan tetap berambisi memiliki tanpa menghargai perasaan sendiri, malah menyiksa diri, lagi, dan lagi.

Sesekali khayal senyumnya menghantui, seolah menertawai. Tak kuelaki, hanyalah ilusi. Dan lagi, mengingat pada akhir bula ini ia beranjak pergi menikmmati Institusi dunia pendidikan diluar negri sana. Sebelumnya aku berencana untuk menemuinya dengan harap pertemuan untuk terakhir kalinya. Mustahil dengan alasann gengsi yang menjadi imej diri, dengan asumsi mereka sebagai sesuatu yang begitu murahan. Asumsi yang tak akan pernah menjadi kebenaran, melainkan asumsi asal-asalan yang kucap sebagai pembenaran. Sebenarnya adalah memori yang merasuki otakku yang memaksa untuk mengingat kembali kejadian terdahulu, disaat masa terindah antara "aku dan dia..". Ah, sudahlah! Aku tak ingin mengingatnya kembali, biarlahlah realita yan berlaku, yang akan mengapuskan jejak langkahku, yang terus bergerilya mengerjarnya hingga terlelah sendiri.

Rentang waktu kepergiannya tinggalah hitung jemari, kepergiannya hanyalah beberapa hari lagi. Pada saat matahari kembali terbit tersembunyi dibalik darau itu, seakan raut wajahku semakin kalut olehnya. Kenestapaan yang kian kronis untuk dilupakan. Tak punya pendirian, lemah disaat mengingatnya. Hal yang tak mudah memang. Kepergiannya nanti, lelah mendengarnya. Seraya mulutku ingin melontarkan kata sapaan lembut, lalu berbisik padanya dengan ucapan "Selamat tinggal.."


Tuhan.. harapku ia akan baik-baik saja disana. Kota yang mustahil kujangkau untuk bertemu untuk terakhir kalinya, kota yang begitu atraktif dengan cuaca dinginnya, Berlin..




febrifabiansoemantri

Kutuang Imaji dan lewati Mimpi.


Semua berlalu begitu saja, dilupakan, seakan tak pernah terjadi. Memori adalah fakta tak nyata yang selalu menjadi misteri. Tak kunjung henti menemukan solusi yang tak akan pernah nyata lagi. Berulang kali untuk kuulangi, meski tak pernah menjadi Serasah yang Sakhi. Melainkan Serasah yang tak henti meracuni setiap dinding nadi. Sehingga jawaban adalah hanya mimpi.

Jika semua kebahagiaan yang berarti berada dalam Memori, maka kelak yang kudapat hanyalah sepah yang tak lagi memili sari. Lalu apa guna jika sederetan konsekuensi yang kuambil hanyalah sebagai sesuatu yang menggoyahkan hati yang tak pernah kunjung henti? Menari diatas penderitaan sendiri, tersenyum meski tak ingin. Terlalu banyak rahasia dibalik Imaji yang kurangcang menjadi sebuah mimpi sebagai teman tidurku dan terlelap nanti. Apakah mati? Sehingga aku ini bisa terus bermimpi tanpa terbangun sedetik pun dari terlelapnya berimajinasi? Harapku.. Kian menggelora dalam mimpi ini, dan mati. Adalah titik temu sebagai solusi yang selama ini kucari.





febrifabiansoemantri.

Darulfana.

Yang kudengar sampai saat ini adalah prediksi datangnya kiamat suatu saat adalah binasanya makhluk hidup di didunia, dan datangnya bulan Ramadhan ini adalah sebagai ajang popularitas cari untung. Mengerikannya.

Dan, Konklusi individu menyatakan, Saat ini aku seperti sedang terperangkap diantara dua elemen semesta yang tak nyata, adalah dusta dan pahala.

Kahar perilakunya meski ditiadakannya keadilan, menjadikannya seorang Kufur yang sedang mengudung jemarinya sendiri adalah Pendustaan dihadapan Tuhan. Maka, pahala secara kongkret adalah tak mudah diraih. Kudeta dengan cara Jihad jika kau sebut itu pahala adalah Pembunuhan. Dan, ketika kedilemaan berpijar. Maka aku adalah sampai saat ini tiada berbekalkan Maton yang memiliki arti sebenarnya.



febrifabiansoemantri.

Subuh itu, yang kukira Malaikat sudah siap menjemputku.


Malam ini adalah hari yang begitu melelahkan, dengan alasan kewajibanku kurang memenuhi. saat editorku merangkul semua untuk beramai-ramai meliput tempat jajanan tradisional yang mungkin sudah dilupakan oleh kalangan-kalangan muda atau mudi di jaman modernisasi sekarang. kami bersenang-senang disana menikmati jajanan tersebut, setelah mengambil foto secara detail, karena dikejar oleh waktu yang berputar semakin cepat. kami bergegas untuk segera pulang ke kantor, mengamankan segala peralatan yang sudah kami gunakan pada saat itu. perjalanan makin melelahkan saja, tapi kami memaksakan. di perjalanan yang begitu hening tanpa ocehan-ocehan, kami sengaja meracau saling mengejek satu sama lain yang lebih berkesan candaan dan bukan hinaan. kira-kira 100 meter sampai pada tujuan, saat itu suara Adzan awal dikumandangkan di sebuah tempat ibadah yang terlihat megah itu. entah sebabnya saat itu jam menunjukan pukul 04.28 subuh, saat mobil yang kami tumpangi itu berbelok ke kanan dan tiba-tiba sebuah motor tanpa lampu dan berlagak pahlawan ala gengster-gengster yang sedang marak-maraknya disorot oleh para patriot negara itu menyerempet samping kanan mobil. saat itu Gess, seorang kawan yang duduk di tempat kemudi itu terpaksa membanting stir mobil ke kiri, tapi apa daya. sebuah trotoar besar pembatas jalan itu tertabrak dan akhirnya mobil itu terguling-guling tak terkendali. saat itu saya sendiri duduk disebelah kemudi. tak terpikir apapun, hanya mengucapkan taubat pada sang pencipta saat itu, seraya wajah almarhum bundaku tiba-tiba terngiang dalam telingaku. tak terdengar suara teriakan dari kawanku dibelakang kursiku saat itu. suara klakson yang terus tertekan memekakan telingaku dan membuat semua orang menjadi panik. kawanku berteriak "jangan panik! matikan mobil". dalam keadaan mobil seperti itu pasti yang terlintas adalah kami semua akan menghadap sang pencipta saat itu juga, dan mungkin Djibril sudah bersiap mengepakan sayap indahnya untuk menjemput kami semua saat itu. sempat terbayang jika saat terguling lalu mobil itu meledak hingga rancu bentuknya. aku bergegas keluar dan berlari, berlari mencari ketenangan dengan sebotol air mineral yang kubeli saat itu, tak ingat berapa uang yang kukeluarkan. meski uang yang berada dalam saku celanaku itu hanya berlaku untuk biaya operasional liputan esok, tapi tak kuperdulikan. sempat lupa dimana uang itu kutaruh, lebih terpikir nyawaku yang lebih berharga dari uang dengan nilai berapapun. setelah kejadian itu, kami meracau canda. lalu merenung sedih kenapa kejadian ini harus terjadi.

Setelah kejadian ini, sebenarnya aku bahagia. hingga terfikir ajalku mungkin sudah hampir tiba, tak kusesali. tapi aku tetap menanti, mungkin tidak dengan kejadian seperti ini yang bisa menewaskanku yang secara tak layak untuk dilihat. melainkan lahirnya beberapa versi cerita yang dijadikan kontroversi yang berargumen berlabel pembenaran.

thanks Lord, i'm alive!

August, 24th @ 05.47 AM

Petisi Langit dan Bumi.


Nebula menjanjikan tiadanya kiamat, dimana Bintang menari dan langit memitam. Cahaya menerang menerjang kelamnya malam, Dimana para Malaikat bersiap mengepakan sayap dan menghunuskan pada setiap nadi manusia yang berlari-lari dalam kecemasan. Berlari sambil menyadari berupa penyesalan duniawi yang mereka lumat. Memperluas kekuasaan, memperkaya kekayaan dengan mencuri kekayaan sedikit demi sedikit hingga menjadi bukit. Melupakan Tuhan demi keberhasilan kotor sesaat, adalah sebuah titik solusi kaum elit dan bukan para Proletariat. Dan, ketika aku berdiri sendiri disini dan sambil menyadari, ternyata bumi ini sudah menjadi bukit derita yang begitu mengerikan dan bukan bumi yang sejahtera. Apakah aku yang tak mengetahui apa-apa akan ikut serta dalam pengakuan dosa bersama keparat-keparat atas perbuatannya yang membuat sekat dan sesat?



Currently listening to,
( God Is an Astronaut - Sunrise in Aries )

adalah Simbiosis Parasitisme.


Satir pagi hari ini adalah "Bagaimana cara menghadapi orang-orang yang sudah terlanjur terlihat akan kepicikannya dengan wajah persahabatan yang mengidamkan sebuah persatuan yang kokoh." Maka jawabannya adalah tikam dari belakang lalu kebiri sampai mampus!

Entah apa yang selalu terlintas dalam pola pikirnya. Sehingga tega korbankan sahabatnya. Entah dengan alasan Uang, entah Kuasa. Dan, yang tak kumengerti sampai saat ini adalah orang-orang yang kukenal sejak dulu itu menjanjikan sebuah perubahan yang kau tulis diatas secarik kertas itu.

Maka, persetan perubahan atas nama keuntungan yang kau raih kelak, Mungkin bisa kalian nikmati, tapi tanpa segumpal teror yang akan kulontarkan suatu saat nanti. Sehingga kalian tak sabar melihat wajahku nanti. Berkoar tak karuan karena tak bisa kau sumpal dengan Uang, Meracau tanpa henti dengan membangga-banggakan patriot negara sambil menakut-nakuti. Betapa mengerikannya kalian ini, nyali kalian sebenarnya tak lebih dari pesona seekor nyamuk yang bergerilya menggerogoti.

Meski hanya diatas secarik kertas ini, Nafsuku membangun sebuah persahabatan terhenti. Dan, jika harus sampai disini, maka aku bersumpah. Esok, ataupun lusa. para Anjing Hedonis yang terhormat itu akan mengidap fobia persahabatan yang sekian lama kau buat naik pitam.


"Betapa mengerikannya kehidupan, Tanpa masa depan yang begitu menjanjikan. Dan, jika harus terhenti sampai disini. Dengan alasan apa kau ciptakan ke dunia?" (febrifabian08)

Marcapada yang Mansukh



Ah, ternyata malam yang Khusuf.

Sambil merebahkan tubuh diatas rumput yang segar ini. Menyepi tanpa lagi desis beredelan Diskriminasi yang selalu menuai Kontroversi. Malam hari yang brilian ketimbang siang hari tadi. Marcapada ini terasa lebih terasa mengagumkan, ditemani suara angin yang berdebur sepanjang malam, begitu menyenangkan hati sambil merenung sesekali.

"Ternyata aku ini sedang menyadari sikap yang kuklaim tentu Definitif, yaitu siap untuk kalah dalam perjuangan ini. Entah kuklaim sebagai pecundang, entah Plin-plan. Dengingan ocehan hati semangatkan gelorakan kibaran bendera putih, ketimbang berjuang. Sehingga semangatku hanyut dengan sendirinya, Sepertinya sudah lupa berdiri lagi. Meski terdengar deringan alat komunikasi yang begitu memekakan telinga, tetapi tak menggoyahkan keinginanku untuk sendiri."

Dan, mungkin ini hanyalah sebagian besar proses seorang Martyr yang tak pernah memiliki lagi nyawa yang tak lagi terus kupompa. Hingga nyawa itu seperti tak layak jika Ia beri kehidupan.

Maka kuterima, kuterimakan dengan Ikhlas atas pemberian-Nya. Meski Ia yang selama ini tak kukenali, dan kuyakini Ia menyayangi.

..Selamat tinggal bahagiaku...


febrifabiansoemantri

Disana adalah Arasy, Semesta tak nyata surgawi.


Aku adalah satu kesatuan butiran pasir hingga mewujud menjadi manusia yang dikaruniai roh-roh Suci yang memiliki nyawa yang seharusnya adalah berarti. Entah mengapa setelah memulai hidup dalam Darulfana ini, begitu mengerikannya. Mengharapkan sesuatu yang manusiawi adalah sesuatu yang begitu menyulitkan. Dengan terjangkitnya gejala-gejala Abivalensi yang menggerogoti mereka lalu menimbulkan sikap mereka dengan Sinkron begitu menggelikan karena plin-plan.

Menciptakan ajang perdebatan hebat lalu disingkirkannya satu-persatu dari mereka yang tak selaras dengan pola fikir-nya. Ah, Marcapada yang tak sehat. Dengan mudahnya ditemui kejadian-kejadian yang menyakitkan namun akhir yang begitu Defisien. Apakah sebaiknya aku ini merelakan kejadian-kejadian itu dengan sikap Defaitisme yang mengharukan? Haruskah? Apalah!

Kebahagiaan duniawi ini tak seperti Arasy yang selama ini kuiinginkan. Mungkin kelak akan kukunjungi, ketika gejala Anabiosis ini mulai terealisasi, dimana suatu saat nanti kutemukan ratusan Amunisi yang akan kutembakan sebagai tameng dari gejolak penderitaan. Dan tak lagi meronta-ronta menagih janji sebuah kebahagiaan, dan tanpa kiasan-kiasan yang selama ini hanya mampu kurealisasikan dalam tulisan-tulisan?




Terinspirasi oleh perjalanan hidup yang begitu mengharukan. Awalnya adalah mencari titik temu sebagai solusi, tetapi selalu tak menyanggupi. Sempat terfikir untuk berhenti mengarungi hidup ini. Dan, jika benar terhenti. Apakah nanti aku memang berguna di dalam semesta yang tak nyata itu? Arasy..