Jumat, 14 November 2008

Temaram, hampir gelap.

Bermula dari sikap ketidakpedulian, dan kini mungkin sedang dirambah penyesalan. Kosa kata yang menerjunkan sebuah altar sikap menuju akhir penantian sepertinya. Entah sebagai indikasi dari topik apa, jika aku bisa berasumsi inilah sebuah akhir 'penantian'.

Without considering, i'm on the diseases warzone. Yesterday is an another way to live, but today i'm really seperate in this way;

Ketika senja berganti malam, setelah kejadian berlalu, tak pernah menginginkan terulang-- dan, keinginan yang tak menjadi keajaiban, melainkan sebuah kejadian lalu kian terulang. Sempat berfikir ini hanyalah sebuah proses awal dari penantian, tak henti kian terfikir inilah awal 'kematian!'; Inginnya hanya berfikir positif, tetapi pada akhirnya bertransform menjadi negatif.

Sebuah indikasi yang meradang ujung tenggorokan, hingga harus keluar paksakan darah setiap harinya-- Lelah, itulah rasanya. Kalut, seperti biasanya, hingar-bingar jika harus melihat keramaian. Tiada lagi hitam dan putih berbagi, segalanya paradoks, dan bertransform abu-abu.

Kesunyian, kesendirian, adalah sintesis kehidupan selamanya. Dan harus kuakui tanpa dipungkuri, itulah keahlianku.
Harapan, kebahagiaan? Sepertinya tak ada lagi kata-kata itu dalam kosa kataku.

Ini hanyalah holofrasis yang berhipotesis dengan sikap hirau akan kehingar-bingaran anugrah yang tak selayaknya tercipta di sela kehidupan manusia-- Dan, jika boleh pinta; Jika aku ini terlahir dengan keadaan tak bermata, mungkin akan dengan mudahnya lintangi aral gendala soalan hidup, dan deru-deru derita yang mengharukan.

Ketidaksanggupan menghadapi; mengakhiri kenyataan berupa penantian.

If you wish to forget anything on the spot, make a note that this thing is to be remembered.
Edgar Allan Poe

What's the point, if i had no choice?

What's the point, if i had no desire?
What's the point, if i had no more happiness?
and What's the point, if i had no longer time?
Disease causes? is a deal of joy and pain, and wonder.
--Not the end, not redemption, but just begun;

Dikala senja tiba, sambil diguyuri hujan lebat; hingga tak terasa air mata mulai menggenangi antara kedua mata yang tak tentu arah pandangannya. Rasa bersalah hebat gandrungi taubat, setelah beberapa jam kutemani kawanku yang sedang menunggu kawannya, dibawah derai hujan yang mengguyur, deruan angin tak karuan; sesak paru mulai resah tak kuat menahan laju darah ini, berlari mencari ruang kosong tanpa mulai memperhatikan keadaan sebenarnya.
Tak hirau akan gumpalan darah ini, meski dahulu terlalu menyembunyikan hingga tak ada satupun yang mengetahuinya, dan inilah saatnya, bukanlah untuk penebusan dosa selamanya, hanya sementara, bukan taruhan untuk surga, bahkan neraka sekalipun. bukan, bukan keduanya, lalu apa?; hingar bingar menggerutu pembicaraan sendiri.

Sudah dekatkah? seraya berasumsi sambil menoleh kebelakang menghadap akuarium kosong yang berisi udara.

...... tak ada jawaban--duniaku masih sesunyi ini, tak dahulu, tak hari ini, mungkin esok pun seperti ini.

Hirau tak terhingga, dan nazar ini mungkin berharga bagiku untuk kesalahan tak berujung. Hingga diujung umurku adalah mempersilahkan ragaku untuk melepaskan segala isi-isinya, dan bukan lagi kehampaan yang melekat erat yang selama ini ikut serta mengisi kekosongan jiwaku ini--Tanpa berat hati, sederetan prosa ini mewakili ucap maaf atas keresahan, kehingar bingaran yang telah kuperbuat.
Dan, semoga tulisan-tulisan yang selama ini kutuliskan, tak lagi menjadi makna yang terus mencari arti, bahkan kenyataan yang terulang--dan ketidaksanggupan hidup mulai menjadi kebiasaan dengan menyegerakan diri untuk singgah menjauhi kenyataan, dan tak lagi mengenali lagi ranah kehidupan.

What is once well done is done forever.
Henry David Thoreau
I feel like a tiny bird with a big song!
Jerry Van Amerongen, Ballard Street, 08-18-05

Derana derukan perih hati.

Transenden harapan, adalah kehampaan.
Ketiadaan, kenestapaan, hingga tak ada lagi sosok sekepal harapan kujumpai.
Masa transisi, adalah nan indah rupawan. Melintang panjang kasatkan mata.
Sentuh cakrawala, dan tak ada lagi rupawan seperti kebahagiaan dan ketenangan.

Hingar bingar, keresahan yang bergejolak menolak untuk bertahan lebih lama lagi, hidup statis, lebih statis lagi, tak ada titik nadir terendah yang bisa kusinggahi.
Tak ada dinamisme hidup. Mati rasa, tak menggerakan nyawa untuk tetap hangat.

Putih bertransfor hitam, kamuflase-kan substansi menjadi substansi rekayasa serupa keputusasaan.
Derana memulai derukan perih hati, iri hati dan bicarakan tentang dekadensi diri. Dan bukanlah sebagai maton yang mantuk, melainkan maton yang sudah mansukh.

Kehampaan..
Anugrah terindah yang telah tertunda.

Harapan..
Tak lagi sebagai motoris dalam dinamisme kehidupan.

Keputusasaan..
Sebagai phobia akut yang tak pernah bosan menghantui menemani kekosongan diri.

Dan,

Kebahagiaan..
Keresahan yang tak pernah memliki tepi.

Jika, Tuhan ciptakan mati dan hidup,
Jika, Tuhan ciptakan Surga dan Neraka,
Dan, jika Tuhan Mahaperkasa,

Dengan alasan apa Ia menunda, dan tak sanggup menjemputku menuju semesta tak nyata,
dengan ucap 'Terjadilah!'

Pertanyakan Surga dan Neraka,
Jawabku adalah bernazar untuk terlepas dari buaian konteks kehidupan diluar kesanggupan.


Kehidupan?
Harapan kosong, Keabnormalan, Keterasingan & Keraguan.

Maka, Kematian adalah,
Ketenangan, Kesunyian, Kemuliaan, & Keabadian kudapat.

diantara nazar Tuhan, keputusasaan & ketiadaan.

Serupa nazar Tuhan, jika harus meninggikan-Nya adalah keselamatan membentang luas tak bertepi. Serupa nazar yang membuahkan keputusasaan berlebih yang tak henti menari menertawai diatas janji-janji yang tak terpenuhi.

Jika harus terus mengeluh merupakan indikasi kebiasaan, maka keputusasaan mulai merambah arti kebahagiaan, tanpa pengecualian.
Mati? Hidup? Adalah sintesis kehampaan, mengingat dosa-dosa yang telah diperbuat adalah kenestapaan. Meraih pahala melalui ibadah adalah kamuflase kehidupan! Yang secara singkron butakan indera-indera penglihatan tanpa harus terus mendambakan kehidupan dalam ranah semesta tak nyata, Arasy, Padang Mah'syar, Akhirat..

Dan kebahagiaan tertunda hingga terus tertunda tanpa merasakan bahagiaanya jikalau bisa merasakan kebahagiaan masa hidup diantara
siang, malam, sore, dan subuh hari.. Hingga sinar matahari mulai berpaling untuk menerangi, gelap gulita malam tanpa ada lagi Khusuf yang indah, senja hari tanpa adanya lagi tanda-tanda terbenamnya matahari dikala indahnya, deru-deru angin menari temani derai-derai hujan yang dingin, dan hangat..

Hingga semesta timbulkan kesan mimik suasana naik pitam, menahan amarah terhadap orang-orang hina sekalipun terhina, dengan indikasi yang sederhana adalah diriku pribadi saja. Enggan peduli hingga sedetik pun, ketika mereka mencerca, mengutuk, bahkan menertawai.

Ia, yang memiliki segalanya, dan kuakui akulah kekurangan sepenuhnya. Hidup pun sederhana, kebahagiaan tak ada, kasih sayang yang tak pernah kunjung datang.

..I don't really give a thought to feel this cursed, just tryin' to create another poem for having some comfortable, without.. God helps..

Life? Death? Is an another reason who can make it i'm on over-Desperately.