Jumat, 14 November 2008

Derana derukan perih hati.

Transenden harapan, adalah kehampaan.
Ketiadaan, kenestapaan, hingga tak ada lagi sosok sekepal harapan kujumpai.
Masa transisi, adalah nan indah rupawan. Melintang panjang kasatkan mata.
Sentuh cakrawala, dan tak ada lagi rupawan seperti kebahagiaan dan ketenangan.

Hingar bingar, keresahan yang bergejolak menolak untuk bertahan lebih lama lagi, hidup statis, lebih statis lagi, tak ada titik nadir terendah yang bisa kusinggahi.
Tak ada dinamisme hidup. Mati rasa, tak menggerakan nyawa untuk tetap hangat.

Putih bertransfor hitam, kamuflase-kan substansi menjadi substansi rekayasa serupa keputusasaan.
Derana memulai derukan perih hati, iri hati dan bicarakan tentang dekadensi diri. Dan bukanlah sebagai maton yang mantuk, melainkan maton yang sudah mansukh.

Kehampaan..
Anugrah terindah yang telah tertunda.

Harapan..
Tak lagi sebagai motoris dalam dinamisme kehidupan.

Keputusasaan..
Sebagai phobia akut yang tak pernah bosan menghantui menemani kekosongan diri.

Dan,

Kebahagiaan..
Keresahan yang tak pernah memliki tepi.

Jika, Tuhan ciptakan mati dan hidup,
Jika, Tuhan ciptakan Surga dan Neraka,
Dan, jika Tuhan Mahaperkasa,

Dengan alasan apa Ia menunda, dan tak sanggup menjemputku menuju semesta tak nyata,
dengan ucap 'Terjadilah!'

Pertanyakan Surga dan Neraka,
Jawabku adalah bernazar untuk terlepas dari buaian konteks kehidupan diluar kesanggupan.


Kehidupan?
Harapan kosong, Keabnormalan, Keterasingan & Keraguan.

Maka, Kematian adalah,
Ketenangan, Kesunyian, Kemuliaan, & Keabadian kudapat.

Tidak ada komentar: