Jumat, 26 September 2008

Kepergiannya, Berlin..



Kalut, itulah persepsi perasaanku hari ini. Tergeletak lemas sambil mengingat sosok seorang Hawa yang kuingin. Tersenyum pun tak ingin. Kawanku pandai berkelakar berusaha menghibur, terkesan biasa. Dalam fikiran hanya terngiang dengan keadaan yang berdampak dramatis yang dahulu itu pernah menghimpitku hingga sesak dan terjatuh pada jurang derita yang terus menggerogoti dinding syaraf otak yang terus menolak untuk melupakan. Sebuah proses terjangkitnya Delirium yang kian menggelora, sehingga aku ini lupa berdiri lagi. Terpaku pada satu titik permasalahan yang bukan menjadi substansi diri sendiri, seolah itu adalah sebuah katarsis dengan dampak ingin menyendiri.

Lalu, derai gerimis itu pun mulai terdengar berjatuhan dari langit yang mulai menjadi kelam. Mata pun terkelap merasakan kantuk karena deruu kencang angin yang berhembus. Meski sebelumnya sudah kuteguk beberapa gelas kopi hitam dengan keinnginan hari ini aku bias menulis kiasan-kiasan mustahil tanpa rasa kantuk. Namun hembusan angin itu mengalahkanku sesaat, lalu terbangun lagi, lalu kutulis lagi, dan, ntahlah..
Jarum jam berputar begitu cepat, tak terasa matahari mulai terbit tersenyum menyinari semangatku lagi. Meski tak seperti semangat yang terdahulu kurasakan, dan setidaknya ini adalah sebuah pencerahan hanya untuk sementara waktu, sehinngga pandanganku yang kelam ini menghadirkan sebuah celah penerangan sesekali untuk merubah keegoisan diri. Awalnya adalah tak inngin menyerah hingga kudapat sesuatu yang bukan miliku lagi. Tapi realita-lah yang berencana membuatku undur diri dari peperangan ini. Tetapi, kenapa tak selintas keinginan dalam diri ini untuk mengibarkan bendera Putih? Melainkan tetap berambisi memiliki tanpa menghargai perasaan sendiri, malah menyiksa diri, lagi, dan lagi.

Sesekali khayal senyumnya menghantui, seolah menertawai. Tak kuelaki, hanyalah ilusi. Dan lagi, mengingat pada akhir bula ini ia beranjak pergi menikmmati Institusi dunia pendidikan diluar negri sana. Sebelumnya aku berencana untuk menemuinya dengan harap pertemuan untuk terakhir kalinya. Mustahil dengan alasann gengsi yang menjadi imej diri, dengan asumsi mereka sebagai sesuatu yang begitu murahan. Asumsi yang tak akan pernah menjadi kebenaran, melainkan asumsi asal-asalan yang kucap sebagai pembenaran. Sebenarnya adalah memori yang merasuki otakku yang memaksa untuk mengingat kembali kejadian terdahulu, disaat masa terindah antara "aku dan dia..". Ah, sudahlah! Aku tak ingin mengingatnya kembali, biarlahlah realita yan berlaku, yang akan mengapuskan jejak langkahku, yang terus bergerilya mengerjarnya hingga terlelah sendiri.

Rentang waktu kepergiannya tinggalah hitung jemari, kepergiannya hanyalah beberapa hari lagi. Pada saat matahari kembali terbit tersembunyi dibalik darau itu, seakan raut wajahku semakin kalut olehnya. Kenestapaan yang kian kronis untuk dilupakan. Tak punya pendirian, lemah disaat mengingatnya. Hal yang tak mudah memang. Kepergiannya nanti, lelah mendengarnya. Seraya mulutku ingin melontarkan kata sapaan lembut, lalu berbisik padanya dengan ucapan "Selamat tinggal.."


Tuhan.. harapku ia akan baik-baik saja disana. Kota yang mustahil kujangkau untuk bertemu untuk terakhir kalinya, kota yang begitu atraktif dengan cuaca dinginnya, Berlin..




febrifabiansoemantri

Kutuang Imaji dan lewati Mimpi.


Semua berlalu begitu saja, dilupakan, seakan tak pernah terjadi. Memori adalah fakta tak nyata yang selalu menjadi misteri. Tak kunjung henti menemukan solusi yang tak akan pernah nyata lagi. Berulang kali untuk kuulangi, meski tak pernah menjadi Serasah yang Sakhi. Melainkan Serasah yang tak henti meracuni setiap dinding nadi. Sehingga jawaban adalah hanya mimpi.

Jika semua kebahagiaan yang berarti berada dalam Memori, maka kelak yang kudapat hanyalah sepah yang tak lagi memili sari. Lalu apa guna jika sederetan konsekuensi yang kuambil hanyalah sebagai sesuatu yang menggoyahkan hati yang tak pernah kunjung henti? Menari diatas penderitaan sendiri, tersenyum meski tak ingin. Terlalu banyak rahasia dibalik Imaji yang kurangcang menjadi sebuah mimpi sebagai teman tidurku dan terlelap nanti. Apakah mati? Sehingga aku ini bisa terus bermimpi tanpa terbangun sedetik pun dari terlelapnya berimajinasi? Harapku.. Kian menggelora dalam mimpi ini, dan mati. Adalah titik temu sebagai solusi yang selama ini kucari.





febrifabiansoemantri.

Darulfana.

Yang kudengar sampai saat ini adalah prediksi datangnya kiamat suatu saat adalah binasanya makhluk hidup di didunia, dan datangnya bulan Ramadhan ini adalah sebagai ajang popularitas cari untung. Mengerikannya.

Dan, Konklusi individu menyatakan, Saat ini aku seperti sedang terperangkap diantara dua elemen semesta yang tak nyata, adalah dusta dan pahala.

Kahar perilakunya meski ditiadakannya keadilan, menjadikannya seorang Kufur yang sedang mengudung jemarinya sendiri adalah Pendustaan dihadapan Tuhan. Maka, pahala secara kongkret adalah tak mudah diraih. Kudeta dengan cara Jihad jika kau sebut itu pahala adalah Pembunuhan. Dan, ketika kedilemaan berpijar. Maka aku adalah sampai saat ini tiada berbekalkan Maton yang memiliki arti sebenarnya.



febrifabiansoemantri.

Subuh itu, yang kukira Malaikat sudah siap menjemputku.


Malam ini adalah hari yang begitu melelahkan, dengan alasan kewajibanku kurang memenuhi. saat editorku merangkul semua untuk beramai-ramai meliput tempat jajanan tradisional yang mungkin sudah dilupakan oleh kalangan-kalangan muda atau mudi di jaman modernisasi sekarang. kami bersenang-senang disana menikmati jajanan tersebut, setelah mengambil foto secara detail, karena dikejar oleh waktu yang berputar semakin cepat. kami bergegas untuk segera pulang ke kantor, mengamankan segala peralatan yang sudah kami gunakan pada saat itu. perjalanan makin melelahkan saja, tapi kami memaksakan. di perjalanan yang begitu hening tanpa ocehan-ocehan, kami sengaja meracau saling mengejek satu sama lain yang lebih berkesan candaan dan bukan hinaan. kira-kira 100 meter sampai pada tujuan, saat itu suara Adzan awal dikumandangkan di sebuah tempat ibadah yang terlihat megah itu. entah sebabnya saat itu jam menunjukan pukul 04.28 subuh, saat mobil yang kami tumpangi itu berbelok ke kanan dan tiba-tiba sebuah motor tanpa lampu dan berlagak pahlawan ala gengster-gengster yang sedang marak-maraknya disorot oleh para patriot negara itu menyerempet samping kanan mobil. saat itu Gess, seorang kawan yang duduk di tempat kemudi itu terpaksa membanting stir mobil ke kiri, tapi apa daya. sebuah trotoar besar pembatas jalan itu tertabrak dan akhirnya mobil itu terguling-guling tak terkendali. saat itu saya sendiri duduk disebelah kemudi. tak terpikir apapun, hanya mengucapkan taubat pada sang pencipta saat itu, seraya wajah almarhum bundaku tiba-tiba terngiang dalam telingaku. tak terdengar suara teriakan dari kawanku dibelakang kursiku saat itu. suara klakson yang terus tertekan memekakan telingaku dan membuat semua orang menjadi panik. kawanku berteriak "jangan panik! matikan mobil". dalam keadaan mobil seperti itu pasti yang terlintas adalah kami semua akan menghadap sang pencipta saat itu juga, dan mungkin Djibril sudah bersiap mengepakan sayap indahnya untuk menjemput kami semua saat itu. sempat terbayang jika saat terguling lalu mobil itu meledak hingga rancu bentuknya. aku bergegas keluar dan berlari, berlari mencari ketenangan dengan sebotol air mineral yang kubeli saat itu, tak ingat berapa uang yang kukeluarkan. meski uang yang berada dalam saku celanaku itu hanya berlaku untuk biaya operasional liputan esok, tapi tak kuperdulikan. sempat lupa dimana uang itu kutaruh, lebih terpikir nyawaku yang lebih berharga dari uang dengan nilai berapapun. setelah kejadian itu, kami meracau canda. lalu merenung sedih kenapa kejadian ini harus terjadi.

Setelah kejadian ini, sebenarnya aku bahagia. hingga terfikir ajalku mungkin sudah hampir tiba, tak kusesali. tapi aku tetap menanti, mungkin tidak dengan kejadian seperti ini yang bisa menewaskanku yang secara tak layak untuk dilihat. melainkan lahirnya beberapa versi cerita yang dijadikan kontroversi yang berargumen berlabel pembenaran.

thanks Lord, i'm alive!

August, 24th @ 05.47 AM

Petisi Langit dan Bumi.


Nebula menjanjikan tiadanya kiamat, dimana Bintang menari dan langit memitam. Cahaya menerang menerjang kelamnya malam, Dimana para Malaikat bersiap mengepakan sayap dan menghunuskan pada setiap nadi manusia yang berlari-lari dalam kecemasan. Berlari sambil menyadari berupa penyesalan duniawi yang mereka lumat. Memperluas kekuasaan, memperkaya kekayaan dengan mencuri kekayaan sedikit demi sedikit hingga menjadi bukit. Melupakan Tuhan demi keberhasilan kotor sesaat, adalah sebuah titik solusi kaum elit dan bukan para Proletariat. Dan, ketika aku berdiri sendiri disini dan sambil menyadari, ternyata bumi ini sudah menjadi bukit derita yang begitu mengerikan dan bukan bumi yang sejahtera. Apakah aku yang tak mengetahui apa-apa akan ikut serta dalam pengakuan dosa bersama keparat-keparat atas perbuatannya yang membuat sekat dan sesat?



Currently listening to,
( God Is an Astronaut - Sunrise in Aries )

adalah Simbiosis Parasitisme.


Satir pagi hari ini adalah "Bagaimana cara menghadapi orang-orang yang sudah terlanjur terlihat akan kepicikannya dengan wajah persahabatan yang mengidamkan sebuah persatuan yang kokoh." Maka jawabannya adalah tikam dari belakang lalu kebiri sampai mampus!

Entah apa yang selalu terlintas dalam pola pikirnya. Sehingga tega korbankan sahabatnya. Entah dengan alasan Uang, entah Kuasa. Dan, yang tak kumengerti sampai saat ini adalah orang-orang yang kukenal sejak dulu itu menjanjikan sebuah perubahan yang kau tulis diatas secarik kertas itu.

Maka, persetan perubahan atas nama keuntungan yang kau raih kelak, Mungkin bisa kalian nikmati, tapi tanpa segumpal teror yang akan kulontarkan suatu saat nanti. Sehingga kalian tak sabar melihat wajahku nanti. Berkoar tak karuan karena tak bisa kau sumpal dengan Uang, Meracau tanpa henti dengan membangga-banggakan patriot negara sambil menakut-nakuti. Betapa mengerikannya kalian ini, nyali kalian sebenarnya tak lebih dari pesona seekor nyamuk yang bergerilya menggerogoti.

Meski hanya diatas secarik kertas ini, Nafsuku membangun sebuah persahabatan terhenti. Dan, jika harus sampai disini, maka aku bersumpah. Esok, ataupun lusa. para Anjing Hedonis yang terhormat itu akan mengidap fobia persahabatan yang sekian lama kau buat naik pitam.


"Betapa mengerikannya kehidupan, Tanpa masa depan yang begitu menjanjikan. Dan, jika harus terhenti sampai disini. Dengan alasan apa kau ciptakan ke dunia?" (febrifabian08)

Marcapada yang Mansukh



Ah, ternyata malam yang Khusuf.

Sambil merebahkan tubuh diatas rumput yang segar ini. Menyepi tanpa lagi desis beredelan Diskriminasi yang selalu menuai Kontroversi. Malam hari yang brilian ketimbang siang hari tadi. Marcapada ini terasa lebih terasa mengagumkan, ditemani suara angin yang berdebur sepanjang malam, begitu menyenangkan hati sambil merenung sesekali.

"Ternyata aku ini sedang menyadari sikap yang kuklaim tentu Definitif, yaitu siap untuk kalah dalam perjuangan ini. Entah kuklaim sebagai pecundang, entah Plin-plan. Dengingan ocehan hati semangatkan gelorakan kibaran bendera putih, ketimbang berjuang. Sehingga semangatku hanyut dengan sendirinya, Sepertinya sudah lupa berdiri lagi. Meski terdengar deringan alat komunikasi yang begitu memekakan telinga, tetapi tak menggoyahkan keinginanku untuk sendiri."

Dan, mungkin ini hanyalah sebagian besar proses seorang Martyr yang tak pernah memiliki lagi nyawa yang tak lagi terus kupompa. Hingga nyawa itu seperti tak layak jika Ia beri kehidupan.

Maka kuterima, kuterimakan dengan Ikhlas atas pemberian-Nya. Meski Ia yang selama ini tak kukenali, dan kuyakini Ia menyayangi.

..Selamat tinggal bahagiaku...


febrifabiansoemantri

Disana adalah Arasy, Semesta tak nyata surgawi.


Aku adalah satu kesatuan butiran pasir hingga mewujud menjadi manusia yang dikaruniai roh-roh Suci yang memiliki nyawa yang seharusnya adalah berarti. Entah mengapa setelah memulai hidup dalam Darulfana ini, begitu mengerikannya. Mengharapkan sesuatu yang manusiawi adalah sesuatu yang begitu menyulitkan. Dengan terjangkitnya gejala-gejala Abivalensi yang menggerogoti mereka lalu menimbulkan sikap mereka dengan Sinkron begitu menggelikan karena plin-plan.

Menciptakan ajang perdebatan hebat lalu disingkirkannya satu-persatu dari mereka yang tak selaras dengan pola fikir-nya. Ah, Marcapada yang tak sehat. Dengan mudahnya ditemui kejadian-kejadian yang menyakitkan namun akhir yang begitu Defisien. Apakah sebaiknya aku ini merelakan kejadian-kejadian itu dengan sikap Defaitisme yang mengharukan? Haruskah? Apalah!

Kebahagiaan duniawi ini tak seperti Arasy yang selama ini kuiinginkan. Mungkin kelak akan kukunjungi, ketika gejala Anabiosis ini mulai terealisasi, dimana suatu saat nanti kutemukan ratusan Amunisi yang akan kutembakan sebagai tameng dari gejolak penderitaan. Dan tak lagi meronta-ronta menagih janji sebuah kebahagiaan, dan tanpa kiasan-kiasan yang selama ini hanya mampu kurealisasikan dalam tulisan-tulisan?




Terinspirasi oleh perjalanan hidup yang begitu mengharukan. Awalnya adalah mencari titik temu sebagai solusi, tetapi selalu tak menyanggupi. Sempat terfikir untuk berhenti mengarungi hidup ini. Dan, jika benar terhenti. Apakah nanti aku memang berguna di dalam semesta yang tak nyata itu? Arasy..