Senin, 27 Oktober 2008

Elegi lulabi terindah.

Suddenly sad, guitar is help. Sometimes i drown, but poem heal my wound, not too much, but enough.
And when i'm already wrote, imagination is high, ain't no question to ask, i've high excited, high excited to be a death young really soon.

Love, life? what the hell both of words!
I had no fantasizes, desire to responsbility it, to much question, mystery to chose an option.
Joy, wrote, work, and daydreamin' is an my life way, i guess.

Sengkarut kalimat 'putus asa' seperti itulah yang menjadi sebuah ekstase pembiasaan emosi diri, kadang menghantui, kadang jua menjadi misteri, dan terkadang tak terkontrol saat menjadi.
Ketika mempertanyakan eksistensi dan identitas adalah sebuah puisi yang tak pernah memiliki makna dan arti. Ketika individu adalah subyek otonom yang terus berlari mencari konteks kehidupan dalam ranah lingkungan yang begitu kritis. Dan ketika ekualitas adalah persamaan, maka mempertanyakan farak adalah ketidaketisan.
Dan, ketika ekualitas dijadikan sebagai pagar kebiasaan orang-orang dengan logat fakir falsafah adalah hal yang biasa saja terjadi disini, dan coba tentang cara menghargai.


Dan jika harus mempertanyakan dunia berdasarkan faktual nyata adalah kenestapaan yang tak berujung. Dan, kematian tanpa beban adalah sebuah Euforian dengan elegi lulabi terindah!


Ranah lingkungan sekitarku sudah mulai terlihat abu-abu, tak ingin terbebani, bahkan tak ingin jua membebani siapapun. Tersenyum sambil sembunyikan substansi diri, seolah serasi tetapi perih hati. Serba salah!
Baiknya adalah diam, tanpa sepatah kata yang pantas dilontarkan.
Lalu mulai menjauhi segala konteks sosial yang kian merajak. Dan, awali dengan ucap 'Proses pembelajaran hidup tanpa hasil yang menyemangati hati'.

Diawali dengan phobia sosial akut yang mulai mengakar dan mengganggu, mulai merambah imaji yang tak pernah henti berasumsi 'Aku ini skizofrenik? Sebuah delusi? Atau apalah, mungkin Terasingi tepatnya'

Pertanyaan tersulit yang pernah singgahi hidup, tak adanya solusi membuatku tak percaya diri, pasang dan padam, sehingga mudah perih hati. Terkadang merasa aku ini adalah kekurangan sepenuhnya diantara manusia-manusia lainnya..

Dan tahta tertinggi adalah memiliki harta berlimpah yang merupakan hal semestinya, kekurangan adalah kehinaan sepenuhnya..

Kekurangan adalah ketakutan, dan tahta tertinggi adalah ketiadaan.

Lupakan kewajiban dengan kebiasaan sifat angkuh yang kian meradang.

Dan aku, tiada antara keduanya. Tak kekurangan, bahkan sebaliknya. Melainkan Kehampaan tak bernyawa antaranya..


Kasih sayang terhadap hawa yang kuingin? Tak kunjung memperlihatkan ketertarikan terhadap pribadiku!

Putus asa, serba salah, tak kunjung memiliki sesuatu adalah ranah kehidupan yang seterusnya menikam tajam hantui diriku. Hingga titik nadir pun bernazar untuk berpaling dan tak ada lagi titik terendah yang bisa kusinggahi dan bisa dijadikan sebuah pilihan.

Dan, keabsahan barisan tropus siap untuk terus mengantui pertanyakan jawaban.
Jikalau perlu hingga mereka angkat tangan dengan ucap abstain, karena keabnormal-an mereka dirambah semua pertanyaan! Dan mereka yang merasa sebagai Transenden kehidupan adalah tendensi dari Euforian sang pemimpi yang impiankan kejatuhan dirinya sendiri suatu saat nanti.

Kematian berkuasa disini, kematian adalah berharga bagiku, pada saat akhir waktu, hingga dunia tak mewujud nyata lagi, Surga dipenuhi khalayak yang terpenuhi rohani dan batinnya semasa hidup..

Dan aku, tetaplah Kehampaan, bukan kebahagiaan. Serasah tanpa sarinya, yang terus menari gerakan jemarinya diatas secarik kertas.



(soemantri'08)


Sabtu, 18 Oktober 2008

Wujud tak kukenali hingga kini.


Ketika kanan dan kiri, hitam dan putih adalah pilihan. Dan, ketika hitam dan putih menjadi abu-abu, kanan dan kiri telah menjadi serasah. Maka saat itu pun ku coba untuk berangkat dari tradisi yang sudah terdengar begitu fundamental itu. Sederhananya adalah sejarah. Yang tak akan pernah menjadi serasah akan teori-teori para sejarah yang tak akan berhenti berimajinasi diatas kertas yang coba untuk terus bercerita tentang kenestapaan dari hari ke hari, maupun yang sedang terjadi pada hari ini. Menuju sebuah momentum dimana kita akan berdiri tanpa guncangan aral bencana.

Pada hari dimana kita dibangkitkan menuju hari penghabisan, seperti orang dungu, mungkin akan sepi disana, tidak ada yang kukenali jua mungkin. Namun setumpuk kebahagiaan akan mungkin menjadi sebuah pilihan yang menjanjikan.

Sedikit melenceng pada eksposisi. Dan, sudah cukup sepertinya untuk basa-basi.

Dimulai pada hari dimana pena itu terus membujuk untuk diajari menari lagi diatas secarik kertas ini.

Dimana ketika seorang diri berdiri sendiri diatas bukit yang tak begitu tinggi disana. Dengan pijar-pijar matahari senja mulai terbenam. Dengan deru kencang angin berhembus, yang membuat ilalang-ilalang itu terharak-harak dengan serentak seolah mengikuti iramanya. Memikat hati ribuan kunang-kunang siap terbang yang saat ini mulai memijarkan cahaya mengagumkan disaat malam hari tiba, dan malam ini terkesan sebagai malam yang Mansukh.

Sambil kurentangkan tangan dengan sejajar membentang, seolah ingin terbang. Dengan harap, ingin mengunjungi sebuah tempat dimana seorang Ibu yang dahulu mengajariku dan saat ini telah menetap pada alam semesta tak nyata, semesta takhta Tuhan tertinggi yang tak mudah untuk kukunjungi. Melainkan dengan seharusnya melintangi 2 jalan tersulit, ah mungkin 3 jalan, dan entahlah, terlalu misteri untuk diprediksi. Akhirat, kiamat, neraka, surga, dan lain sebagainya.

Seperti mengingatkanku akan momen tertentu yang sudah berlalu, Ia raih jasad dan ruh-nya, ketika saat aku ini beranjak dewasa dan membutuhkan bimbingan seorang Hawa yang telah berusaha dan berjuang untuk menghadirkanku ke dunia, dan saat ini aku merangkak sendiri sambil mencari identitas diri, sesunyi ini kudapati? Berlalu dan berakhir ketiadaan, 6 tahun berlalu sudah, tak terasa begitu lama Ia pergi. Dan, memang sebenarnya harus kusadari, ini adalah rahasia sosok sang pencipta yang tak pernah kukenali, bahkan jua dapat kulihat begitu saja dengan kasat mata, siapa Ia sebenarnya? Aku tak pernah tau jua akan wujud sebenarnya, dan sepertinya, tak pernah ingin tau jua, biarlah berlalu, dan katakan laissez passer..

Senin, 13 Oktober 2008

Euforian Paranoia: Dan, bukanlah Paranoia Alkus.


Bahagia-nya mereka, kerapkali tak kunjung jua menghampiri. Bersikap tak tau apa-apa, seolah lupa akan kehadiran sesosok orang yang menanti. Hingga Sakaratulmaut pun tiba, tak menoleh pun ia. Tak ada rasa iba, acuh gerogoti pandangan jiwa. Tutup sebelah mata, gelagat hunusan Skeptis coba bunuh arteri yang kian melemah.

Aral gendala tiba tekankan untuk terjatuh, hingar bingar tak karuan, yang memaksa mencari lingkungan sebagai alasan Eskapis diri, namun tak kunjung jua kutemui.

Hingga dini menyadari, begitu indahnya Marcapada ini. Dan tak jua jika seorang diri menikmati, hanyalah hampa sesaki harapan. Tak sedetik pun pejamkan kelopak mata, merangsang syaraf untuk berimaji terlalu berlebihan. Aku ini seperti bicara seorang diri, bergumam sendiri tak peduli memaksa untuk diam. Tanpa menoleh sedetik pun memperhatikan keadaan. Dan baiknya adalah diam.

Mereka terus bertanya hal yang sama, tak sanggup menahan dan terlalu memekakkan telinga. Kerapkali pertanyaan itu menghantui, mendominasi sifat personal yang ciptakan paradoks berbekalkan dugaan tanpa kebenaran, melainkan pembenaran dengan dalih menggiurkan.

Coba tentang satu persatu keadan realita hanya dengan berbekalkan dugaan-dugaan yang ternyata merugikan. Merasa bosan sebenarnya, dengar cercaan dengan dalih memilukan. Seorang diri berjuang untuk terus mempertahankan eksistensi diri dengan persepsi, persahabatan hanyalah bualan menjijikan. Dan persahabatan hanyalah cara dimana menyesuaikan sifat personal tak asli dalam ruang lingkungan yang sebenarnya saling bertentangan. Dan, pada akhirnya tak seorang pun dapat saling menghargai tanpa menyadari akan kekurangan.

Maka ini adalah barisan esensi yang selalu kutemui, dan bukanlah Paranoia Alkus khalayak lontarkan sebagai sintesis persepsi sebagai alasan. Dan, ucapan maaf wakilkan satir berupa tulisan dengan persepsi, esensi persahabatan dan persatuan adalah cara menjatuhkan diri diluar lingkungan.


"Many people love my work, some hate it, but I've never stopped to think about it, and I'll go on without giving a thought - what really matters to me is to know that I can share my soul with those who understand me." (Paulo Coelho)