Sabtu, 18 Oktober 2008

Wujud tak kukenali hingga kini.


Ketika kanan dan kiri, hitam dan putih adalah pilihan. Dan, ketika hitam dan putih menjadi abu-abu, kanan dan kiri telah menjadi serasah. Maka saat itu pun ku coba untuk berangkat dari tradisi yang sudah terdengar begitu fundamental itu. Sederhananya adalah sejarah. Yang tak akan pernah menjadi serasah akan teori-teori para sejarah yang tak akan berhenti berimajinasi diatas kertas yang coba untuk terus bercerita tentang kenestapaan dari hari ke hari, maupun yang sedang terjadi pada hari ini. Menuju sebuah momentum dimana kita akan berdiri tanpa guncangan aral bencana.

Pada hari dimana kita dibangkitkan menuju hari penghabisan, seperti orang dungu, mungkin akan sepi disana, tidak ada yang kukenali jua mungkin. Namun setumpuk kebahagiaan akan mungkin menjadi sebuah pilihan yang menjanjikan.

Sedikit melenceng pada eksposisi. Dan, sudah cukup sepertinya untuk basa-basi.

Dimulai pada hari dimana pena itu terus membujuk untuk diajari menari lagi diatas secarik kertas ini.

Dimana ketika seorang diri berdiri sendiri diatas bukit yang tak begitu tinggi disana. Dengan pijar-pijar matahari senja mulai terbenam. Dengan deru kencang angin berhembus, yang membuat ilalang-ilalang itu terharak-harak dengan serentak seolah mengikuti iramanya. Memikat hati ribuan kunang-kunang siap terbang yang saat ini mulai memijarkan cahaya mengagumkan disaat malam hari tiba, dan malam ini terkesan sebagai malam yang Mansukh.

Sambil kurentangkan tangan dengan sejajar membentang, seolah ingin terbang. Dengan harap, ingin mengunjungi sebuah tempat dimana seorang Ibu yang dahulu mengajariku dan saat ini telah menetap pada alam semesta tak nyata, semesta takhta Tuhan tertinggi yang tak mudah untuk kukunjungi. Melainkan dengan seharusnya melintangi 2 jalan tersulit, ah mungkin 3 jalan, dan entahlah, terlalu misteri untuk diprediksi. Akhirat, kiamat, neraka, surga, dan lain sebagainya.

Seperti mengingatkanku akan momen tertentu yang sudah berlalu, Ia raih jasad dan ruh-nya, ketika saat aku ini beranjak dewasa dan membutuhkan bimbingan seorang Hawa yang telah berusaha dan berjuang untuk menghadirkanku ke dunia, dan saat ini aku merangkak sendiri sambil mencari identitas diri, sesunyi ini kudapati? Berlalu dan berakhir ketiadaan, 6 tahun berlalu sudah, tak terasa begitu lama Ia pergi. Dan, memang sebenarnya harus kusadari, ini adalah rahasia sosok sang pencipta yang tak pernah kukenali, bahkan jua dapat kulihat begitu saja dengan kasat mata, siapa Ia sebenarnya? Aku tak pernah tau jua akan wujud sebenarnya, dan sepertinya, tak pernah ingin tau jua, biarlah berlalu, dan katakan laissez passer..

Tidak ada komentar: